Ketika
sedang menonton televisi dan sedang mencari siaran yang pas malam ini,
remote segera saya letakkan ketika di salah satu stasiun televisi
diberitakan penggondokan produk perda di Jember, Jawa Timur. Produk yang
hendak diperjuangkan adalah keperjakaan dan keperawanan sebagai syarat
kelulusan. Isa Mahdi sebagai salah seorang pengusul menjelaskan konteks
gagasan tersebut. Disadari bahwa moralitas anak-anak sekolah semakin
merosot. Semakin hari, free seks menjadi hal biasa bagi anak-anak. Bukan
hanya dengan satu orang, tetapi juga berganti-ganti pasangan.
Sebuah
berita yang menarik perhatian saya. Sekilas saya merasa ada sebuah
pemikiran yang gagap zaman. Fenomena free seks diatasi dengan sesuatu
yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa fenomena free seks diatasi dengan
produk undang-undang: syarat kelulusan? Artinya secerdas apapun anak
Anda ketika kedapatan tidak lulus sensor, eh maksud saya tidak lulus
test keperawanan atau keperjakaan, maka ia tidak akan bisa dinyatakan
lulus.
Saya
mengatakan gagap zaman karena logika yang disampaikan tidak masuk
nalar. Adalah tidak wajar ketika pelaku free seks atau masalah moral
lainnya dihukum dengan ketidaklulusan. Sungguh tidak masuk akal.
Persoalan free seks dan masalah moral lainnya adalah bukti kegagalan
pendidikan. Ketika hendak mengatasinya atau setidak meminimalisir
perkembangannya, maka pendidikan itu sendiri yang harus diutak-atik.
Moralitas
berkaitan dengan nilai-nilai yang telah diterima dan diintenalisasikan.
Dari sini tampak bahwa sumber moralitas juga berasal dari luar diri,
lingkungan sosialnya. Moralitas bukan sesuatu yang mandeg, tetapi terus
berkembang seiring perjalanan hidupnya. Apakah masalah moralitas seperti
fenomena free seks bisa diatasi dengan aturan seperti yang dipikirkan
di Jember itu? Rasa saya tidak.
Berbicara
soal pendidikan, pikiran kita langsung mengarah kepada sekolah atau
pendidikan formal. Tidak salah, tetapi kurang tepat. Selain pendidikan
formal, masih ada pendidikan informal. Salah satu yang teramat penting
adalah pendidikan anak di tengah-tengah keluarga. Demikian juga dengan
pendidikan moralitas. Keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan
terutama bagi anak. Oleh karenanya, orang tua adalah pendidik pertama
dan utama bagi anak-anaknya. Menggugat fenomena free seks dan masalah
moralitas lainnya berarti juga menggugat keluarga.
Bagaimana
dengan situasi pendidikan di Indonesia? Fungsi pendidikan dijelaskan
dan diatur dalam no 20 tahun 2003 pasal 3, yaitu untuk mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, masalah moralitas
masuk dalam salah satu fungsi yang hendak dicapai dalam pendidikan.
Salah
persoalan yang kerap dijumpai adalah pendidikan formal di Indonesia ini
masih diwarna oleh penilaian dengan angka. Padahal, pendidikan moral
bukan semata-mata masalah pengetahuan, tetapi diajarkan dan dipraktekkan
melalui serangkaian perilaku dan kebiasaan. Ketika masuk ke ranah ini,
akan ada banya aspek yang mempengaruhi. Suasana sekolah dan aturan yang
berlaku harus mampu menjadi sebuah perangkat yang mendukung penanaman
nilai-nilai moral yang akan membentuk sebuah perilaku yang baik.
Sebenarnya,
persoalan moralitas demikian dekat dengan agama. Nilai-nilai agama yang
didukung dengan kearifan lokal dalam aneka konteks budaya demikian kuat
untuk menghasilkan pribadi-pribadi yang bermoral baik. Ketika nilai
moralitas semakin merosot, nilai-nilai agama hanya tinggal dan berlaku
di tempat-tempat ibadah saja. Kearifan lokal pun hanya tinggal menjadi
cerita-cerita pengantar tidur.
Jika
demikian, apakah tidak ada cara lain selain menetapkan keperawanan dan
keperjakaan sebagai syarat kelulusan? Rasa saya masih ada, yaitu
mengubah pola dan cara pendidikan. Pendidikan tidak lagi disibukkan
dengan ulah guru-gurunya yang sibuk mengejar sertifikasi.
Pola
pendidikan karakter lebih mendesak untuk terus diupayakan dan
dikembangkan. Ketika pendidikan karakter yang meliputi pengetahuan
moral, perasaan moral, dan tindakan moral terus dikembangkan tidak hanya
di sekolah tetapi juga di keluarga, persoalan moralitas anak-anak yang
semakin merosot akan mampu diatasi. Pendidikan karakter ini harus
menjiwai seluruh dinamika dan proses belajar-mengajar, baik di kelas
maupun di luar kelas.
Ketimbang
memikirkan undang-undang yang konyol mengapa tidak memikirkan
undang-undang yang mengatur pendidikan karakter bagi tempat-tempat
pendidikan? Pendekatan hukum kiranya justru akan kontraproduktif dengan
tujuan yang hendak dicapai: membantu dan menyelamatkan anak-anak.
Sementara, pendekatan humanistik akan lebih menempatkan anak-anak
sebagai pribadi yang memiliki potensi. Pendekatan yang lebih humanistik
dalam pendidikan karakter akan lebih berdaya guna dari pada pendekatan
hukum.
0 komentar:
Posting Komentar