Kesenian
wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk
di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa (animisme dan
dinamisme). Tentang asal-usul kesenian wayang masih merupakan suatu
masalah yang belum terpecahkan secara tuntas.
Menurut Kitab Centini,
tentang asal-usul wayang purwa disebutkan bahwa kesenian wayang,
mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan
Mamenang/Kediri menggunakan daun lontar.
Masa
berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang
semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat,
maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji
Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri
Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang purwa. Wayang-wayang hasil
ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara
itu diciptakan pula pakem ceritera wayang purwa. Setiap ada upacara
penting di istana diselenggarakan pagelaran wayang purwa dan Sri
Suryawisesa sendiri bertindak sebagai dalangnya. Para sanak keluarganya
membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan.
Pada
masa itu pagelaran wayang purwa sudah diiringi dengan gamelan laras
slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu
Raden Kudalaleyan. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula
menyempurnakan wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil
ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan
bentuk yang ada. Dengan gambaran wayang ini, setiap ada upacara penting
di kraton diselenggarakan pagelaran wayang
Ceritera
wayang masuk ke Indonesia, khususnya ke Pulau Jawa dan Bali bersamaan
dengan masuknya agama Hindu (penyebaran sekaligus upacara ritual agama
Hindu).
Pada
masa itu ,sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa
gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu.
Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan
tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan
kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau
Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk
menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran
manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang
menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan
bentuk baru dari wayang purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak
ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih
panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari
kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran
bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan
tinta.
Pada
masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan.
Dirubah pula tehnik pakelirannya dengan mempergunakan sarana
kelir/layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan
wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan
kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat
khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam
pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan
Mahabharata, namun disana-sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah,
walaupun masih dalam bentuk lambang-lambang.
Seperti yang disebutkan dalam buku Wayang, Kebudayaan Indonesia, dan Pancasila
karangan Pandam Guritno, mengacu dari apa yang terungkap dalam karya
sastra tersebut, berarti wayang purwa telah ada sejak zaman pemerintahan
Airlangga (1019-1043).
Sebab,
Mpu Kanwa adalah salah seorang sastrawan yang hidup pada masa
pemerintahan Airlangga. Dengan kata lain, wayang purwa atau yang sering
disebut dengan wayang kulit itu telah dikenal sejak hampir 1.000 tahun
lalu.
"Jika
dihitung dari zaman Airlangga, wayang purwa telah dikenal dan digemari
hampir 1.000 tahun," ujar Pandam Guritno seperti yang tertulis dalam
bukunya itu
0 komentar:
Posting Komentar